Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Selasa, 17 Agustus 2010

Mohammad Nuh: Belajar Sedekah Akhlaki

from jawapos.com;
ALHAMDULILLAH, salah satu di antara sekian banyak kemuliaan bulan Ramadan adalah sebagai bulan pembelajaran (tarbiyah) untuk meningkatkan kualitas kepedulian kepada orang lain. Kepedulian tersebut sering diekspresikan dalam bentuk memberikan sesuatu kepada orang lain, baik yang bersifat bendawi (tangible) maupun nonbendawi (intangible). Sedekah tidak lain adalah kemauan yang didasarkan atas kemampuan untuk memberikan "sesuatu" kepada orang lain. Kemauan dan kemampuan itulah yang menentukan sejatinya, sebenarnya, sesungguhnya karakter seseorang. Tidakkah sedekah (shodaqoh) itu berimpitan (serumpun) dengan kata shiddiq yang bermakna jujur atau yang sebenarnya.

Seringkali kita terjebak kalau ingin bersedekah selalu dikaitkan dengan pemberian yang sifatnya bendawi. Padahal, tidak harus selamanya demikian. Pemberian yang sifatnya nonbendawi pun bisa dikategorikan sedekah. Misalnya, kemuliaan diri yang kita miliki sehingga orang lain merasa bahagia, n
yaman, dan aman. Itu juga termasuk sedekah. Inilah yang dimaksud sebagai sedekah akhlaki, yaitu bersedekah melalui kemuliaan kepribadian, kemuliaan dan kesempurnaan akhlak. Sedekah akhlaki tersebut tidak pernah putus, kapan pun, dalam keadaan bagaimana pun, dan di mana pun. Selama kita mau dan mampu mengekspresikan kemuliaan akhlak kita, kita bisa bersedekah akhlaki.

Kemuliaan Akhlak Sebuah Keniscayaan

Ada beberapa landasan teologis yang mendasari sedekah akhlaki itu. Coba kita renungkan firman Allah SWT: "Kami tidak mengutusmu (wahai Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta," (QS Al Anbiya': 107). Dalam hadis disebutkan: "Aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak," (HR Ahmad). "Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya," ( HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Dengan menggunakan logika berpikir berbalik (mafhum mukhollafah). Apakah ada rahmat di masyarakat apabila di masyarakat itu tumbuh subur kecurangan, pengkhianatan, kebohongan, dan sifat madzmumah (tidak terpuji) lainnya? Demikian juga, apakah ada kerahmatan dan kesakinahan dalam rumah tangga apabila diliputi rasa benci, dengki, dan dendam? Kita pasti menjawab tidak! Maknanya, tidak adanya rahmat bagi alam semesta kecuali dengan kemuliaan akhlak adalah sebuah keniscayaan.

Akhlak: Ekspresi Operatif-Fungsional

Kualitas keimanan dan kemuliaan akhlak tidak bisa dipisahkan, tapi satu kesatuan utuh. Sungguh sangat banyak hadis-hadis Rasulullah SAW yang mengungkapkan hal tersebut. Oleh karena itu, cakupan wilayah akhlak seluas cakupan kehidupan: mulai privasi-personal, publik-sosial, sampai transendental. Penyempurnaan kemuliaan akhlak harus meliputi semua cakupan wilayah tadi, tidak boleh mementingkan satu wilayah dengan mengabaikan yang lain. Kemuliaan akhlak bukan sekadar kemuliaan pada ide atau gagasan. Tetapi, justru pada operasional yang bermuara pada kemanfaatan dan kemaslahatan.

Coba renungkan, "Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah, amar makruf dan nahi munkar yang kau lakukan adalah sedekah, menunjukkan jalan untuk seseorang yang sedang tersesat adalah sedekah, menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah, menuntun orang buta adalah sedekah, dan sedekah yang paling utama adalah sesuap makanan yang kau berikan kepada istrimu," (HR Muslim, hadis no 2.700) dan (HR Ibnu Majah, hadis no 1.691).

Hadis di atas adalah sebagian contoh kemuliaan akhlak. Semua bersifat operasional fungsional dan semua memiliki makna sebagai sedekah. Betapa banyak peluang bagi kita untuk bisa bersedekah kalau kita memiliki kemuliaan akhlak.

Persoalannya, bagaimana kita bersenyum di hadapan saudara kita kalau kita sendiri masih mengidap kebencian dan kedengkian? Bagaimana kita bisa memberikan sesuap makanan kepada istri kita kalau kita sendiri pemalas, tidak mau bekerja? Itulah sebagian problematika akhlak yang kita hadapi.

Kesatuan Ibadah dan Akhlak

Kalau kita cermati, hubungan antara ibadah dan akhlak sering diungkapkan dalam bentuk ibadah sebagai proses dan akhlak sebagai luaran. Misalnya, "Dirikanlah salat, sesunggguhnya salat mencegahmu dari perbuatan keji dan munkar," (QS Al Ankabut: 45). Salat adalah ibadah. Kemampuan mencegah dari perbuatan keji dan munkar adalah akhlak. Demikian juga ibadah-ibadah yang lain, zakat dikaitkan dengan penyucian, puasa dengan kejujuran dan kesabaran, haji dengan kedisiplinan, tidak boleh berbuat kotor, fasik, dan berbantah-bantahan. Semua tidak terlepas dari pembentukan kemuliaan akhlak.

Sebagai gambaran kesatuan ibadah dan akhlak, mari kita renungkan firman Allah SWT, "Sungguh beruntung orang-orang beriman, yaitu yang khusyuk dalam salatnya (ibadah), yang berpaling dari perbuatan sia-sia (akhlak), yang menunaikan zakat (ibadah), yang menjaga kemaluan (akhlak), kecuali pada istri dan sahayanya. Maka, mereka tidak tercela. Siapa yang menyimpang dari itu dan melampaui batas, lalu yang memelihara dan janji (akhlak), serta yang memelihara salat (ibadah)" (QS Al Mu'minun: 1-9).

*) Mohammad Nuh, Mendiknas RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Anda

Dapatkan laptop hanya dengan 99ribu rupiah

Mau yang GRATISS

PROMO: DISKON 20% UNTUK PEMBUATAN WEBLOG UNTUK SEMUA USAHA, CALL: 03171871226.
BUAT SISWA-SISWI PERHATIKAN KRITERIA PENILAIAN BLOG